Front Office

Minggu, 08 Mei 2011

Atobe, is it your love or ... (chapter 3)

Konbanwa! 


Karena FF kali ini ditunggu banyak ama readers (ciee...), jadi hari ini juga bakal langsung di publish. 


Vee: FF bejat kayak gini, banyak yang nge request lho. Hebat ya!

Atobe: Tentu saja, karena ada oresama didalamnya pasti banyak yang tertarik. 
Vee : =,="


Nahh kalo di chapter 1 & 2, adegan bejat nya msih di-minimalisir, yang chapter 3 ini gak ada ampun. Langsung si Atobe napsong gak ketulungan (salahin pikiran author yang mulai ngelantur) 


Atobe, is it your love or .... (Chapter 3) 



Disclaimer : Pak dhe TakeKon. Maaf ya, Atobe nya ta buat napsong~ 
Rate : M (buat 17++)
Note : Ada karakter OC didalamnya, yang dijamah dengan seenaknya oleh Atobe. Ada banyak adegan gak baik buat ditiru apalagi diimajinasikan (?). Segera pindah ke postingan lain di blog ini kalau gak suka FF AtobexOC dengan rating M (you've been warned!)

*****

Previous Story 


Aku menggerutu dan marah sejadi-jadinya saat mereview ulang semua kejadian sejak pertama kali bertemu Atobe di Narwastu. Pintu kayu kamar berdebam sangat keras. Nafasku memburu saat aku terdiam dibalik pintu kamar. Setitik air membasahi lantai tempatku berpijak. Aku yakin ini hanyalah keringat karena amarahku, tapi sedetik kemudian pandangan mataku mengabur saat melihat.

“…Kenapa? …Kenapa aku menangis karena hal ini? Hanya karena hal seperti ini…”  

######

Keesokan harinya…

Sinar matahari mulai menyelusup masuk melalui celah-celah jendela kamar penginapan. Mataku terasa berat untuk membuka apalagi sinar tersebut terlihat menyilaukan saat mengenai wajah. Akhirnya kupalingkan wajah ini kesisi lain untuk melanjutkan tidur kembali saat tiba-tiba Atobe mengetuk pintu untuk memastikan bahwa aku telah bangun.

“Pergi sana. Aku masih ngantuk.” jawabku.

“Arn~? Kau pikir ini masih subuh?”

“Iyaa…” jawabku kembali asal-asalan.

“Tidak ada yang boleh tidur di penginapan ini setelah jam 9!” teriak Atobe sambil membuka pintu kamarku dengan tidak sabar.

“Ukhh…” rintihku pelan mendengar suara pintu. “Aku bukan pembantumu yang bekerja di penginapan ini. Jadi biarkan aku tidur.” Kutarik kembali selimut yang menutupi seluruh tubuh. Namun langkah kaki Atobe yang makin mendekat malah membuatku tegang dan seutuhnya terjaga. ‘Apa yang akan dilakukannya?!’ seruku pelan dengan ketakutan menjalari tubuh.

Apa yang kutakutkan berbuah kenyataan. Atobe menarik paksa selimut yang menutupiku sambil mendekatkan wajahnya.

“Kau minta dibangunkan dengan ciuman dari oresama seperti dongeng putri tidur, arn~?”

“Tidak!” Spontan aku bangun dan menjauh darinya, bersiap kalau-kalau Atobe menyerangku secara tiba-tiba. ‘Sial, tidak bisakah dia membiarkan aku tidur sedikit lebih lama?!’ gerutuku dalam hati.

“Ngg? Matamu bengkak?” tanya Atobe penasaran, sambil kembali mendekatiku. Perlahan tangannya mendekati, namun dengan pasti mendarat dipelipisku. “Apa kau habis menangis semalam?”

“Bukan urusanmu.” sergahku sambil memalingkan muka dan menepis tangan Atobe. Dia pasti tidak ingat apa yang sudah terjadi semalam yang membuat mataku merah dan bengkak seperti ini. Benar dugaanku, dia salah minum bir kemarin. Buktinya? Tiba-tiba jadi pikun begini pagi-pagi. ‘Tapi kenapa Keigo tidak mengeluh pusing ya?’

“Aku..sudah melakukan sesuatu padamu kemarin malam ya?” tanya kembali Atobe. Cepat-cepat kudongakkan kepalaku saat mendengarnya. Dia tahu kejadian kemarin? atau jangan-jangan dia bisa membaca pikiranku?! “Dari tadi kau diam saja. Kalau diam begitu, kau seakan mengatakan bahwa penyebab matamu seperti ini adalah aku.”

Aku hanya diam saja mendengar hal tersebut. Semua yang dikatakan Atobe benar, sampai aku tidak tahu harus menyanggahnya seperti apa. Menyebalkan juga kalau dipikir kembali. Perbuatannya sudah keterlaluan dengan menciumi dekat selangkanganku. Tapi dia malah hilang ingatan begitu saja karena pengaruh bir.

“Apapun itu, kita bicarakan nanti. Cepat ganti bajumu. Aku mau mengajakmu ke suatu tempat.” ujar Atobe.

“Kemana?” tanyaku spontan.

“Didekat sini. Nanti juga kau akan tahu. Cepat ganti!” perintah Atobe. Cowok berambut sedikit ikal berwarna silver ini lalu diam dengan pose sombongnya, kalau tidak mau aku katakan narsis. Membuat kekesalanku naik 1 tingkat. “Atau, kau mau aku bantu mengganti pakaianmu, arn~?” lanjutnya, yang menaikkan tingkat kekesalanku 3 kali lipat.

“KELUAR SANA!” seruku sambil menendang Atobe keluar kamar.

#####

NORMAL VIEW

Atobe mengajaknya ke danau dekat situ. Yang bisa terlihat dari onsen, karena letak onsen berada diatas bukit dekat danau. Airi berjalan dengan kesal disamping Atobe. Wajah tirusnya menggelembung memendam kekesalan, tidak berbeda jauh seperti saat makan pagi tadi berlangsung.

“Wajahmu jelek kalau seperti itu terus.” ucap Atobe. Pemilik tubuh bertinggi 175 cm ini berbalik melihat Airi karena merasakan aura jelek menghantui dirinya.

“Huhh!” dengus Airi sambil memalingkan wajah.

“Ohh..” jawab Atobe asal-asalan. Yang disusul dengan suara kesakitan dari cewek berambut sebahu tersebut.

“Aduhh..nyee…atitt, keehhnngo!” keluh Airi saat Atobe mencubit pipinya.

“sampai kau berhenti bermuka seperti itu, tidak akan kulepaskan.”

“Inyaa…inyaa..au hanhi..” rintih Airi yang lebih mirip suara desahan.

Atobe melepaskannya kemudian, namun malah mencium mata Airi. Spontan ditutupnya mata kecil Airi. Ciuman itu berhenti setelah 10 detik berlalu. Dinikmatinya ciuman nan lembut tersebut, kemudian dipandanginya Airi hingga pemilik mata hijau daun tersebut membuka mata.

“Akan kucium disini kalau sikapmu masih seperti itu.” ancam Atobe sambil meletakkan telunjuknya dibibir mungil nan ranum milik Airi.

Dengan sigap, dikatupkannya bibir tersebut, saat telunjuk Atobe dengan tepat menyentuhnya. Cewek dengan tubuh semampai ini mengangguk dalam diam sambil terus melihat wajah Atobe.

Memandang mata penuh percaya diri Atobe yang berwarna abu-abu.  Kemudian beralih ke hidung mancungnya. Terakhir menatap bibir Atobe sebagai pelengkapnya.

Hatinya mulai berdebar begitu melihat yang terakhir. Memaksa mata warna hijau tersebut melirik ke arah lain.

Bibir itu…sudah mencium bibir miliknya.
Bibir itu…sudah mencium lehernya.
Bibir itu…sudah mencium seluruh badannya.
Bibir itu…sudah mencium..

‘HENTIKAN!’ Mata Airi berputar -stress sendiri- menahan malu karena kenangan mesum bersama Atobe.

Sensasi hangat dari tangan Atobe mendadak hilang. Airi menutup mata kembali karena mendadak wajah segitiga Atobe mendekatinya dengan alasan tidak jelas. Tangan Airi justru digenggam dengan lembut oleh Atobe, yang tidak bermaksud jelek, sambil berbisik ditelinganya.

“Mulai dari sini berbahaya, jangan lepaskan tanganku.”

“Ehh?”

Bingung dengan maksud Atobe tidak membuat Airi memikirkannya. Cowok kelahiran 4 Oktober itu sudah menarik tangannya untuk memasuki pepohonan lebat yang nampak dihadapan mereka. Airi melihat kebelakang, mencoba membedakan antara pepohonan yang mereka injak sebelum ini dan pepohonan yang sekarang sedang mereka masuki.

Pepohonan sebelumnya masih mempersilahkan cahaya masuk dari kerimbunan pohon, namun pepohonan -lebih tepatnya hutan- satu ini malah sebaliknya. Keadaan hutan yang berantakan, semak belukar yang tidak terawat, dan minimnya cahaya yang masuk makin mengukuhkan hutan ini sebagai hutan belantara. Airi bergidik ngeri begitu melihat keadaan hutan tersebut. Berpikir, jangan-jangan hutan ini yang ia lihat dari atas onsen semalam. Hutan yang membuatnya berpikir bahwa mungkin saja ada serigala yang bersembunyi didalam.

Atobe makin mempererat pegangannya saat dia sedikit tersandung akar besar sebuah pohon. Membuat Airi ikut menegang dan menolong Atobe dengan menarik tangannya.

“Kau tidak apa, Keigo?”

“Tentu. Terima kasih sudah menarik tanganku, Ai.” jawab Atobe sambil menyunggingkan senyum mautnya.

“Sa-sa-sama-sama…” ujar Airi terbata-bata, sambil mengerlingkan mata untuk menghindari senyuman Atobe. Cowok tersebut semakin mempererat tangannya. “Kenapa..kau mengajakku kesini? Tempatnya menyeramkan begini.”

“Nanti aku jelaskan. Pokoknya kau jangan merengek minta gendong atau kembali ke onsen kalau sudah sampai disini.”

“Heh? Memang disini ada apa?” ujar Airi, ketakutan. Sambil memandang sekeliling, ia pastikan tidak ada tanda-tanda binatang buas dihutan ini.

“Aku pasti akan melindungimu. Karena itu, jangan lepas tanganku.”

Cewek berlesung pipi ini mengiyakan permintaan Atobe tanpa bertanya lebih banyak lagi. Mata Atobe terlihat serius saat mengatakan hal tersebut, sehingga membuat Airi memilih percaya padanya.

#####

“Kyaaa! Hiii..apa benda berlumut tadi?!”

“Binatang.”

“Hekh?! Lintah ya? Mana? Mana? Mana? Mana? Mouu…Atobe, jangan menakut-nakuti!”

“….”


Percakapan seperti itu terdengar berulang kali mengiringi perjalanan mereka melintasi hutan. Atobe berusaha sabar dengan semua omelan Airi yang jijik akan ini itu, meskipun terkadang ia sendiri pun merasakan hal yang sama. Airi yang sedari tadi ingin merengek pulang, pun mencoba sabar daripada dapat ‘penalti’ dari Atobe sepulangnya mereka dari sini. Sehingga ia pun terus mengomel daripada kesabarannya habis tertelan.

Tidak jarang omelan Airi membuat Atobe naik darah hingga mereka berselisih pendapat. Atobe yang kesal menepis tangan Airi untuk digenggam dan meninggalkannya beberapa langkah. Sampai ia mendengar suara rintihan orang yang dicintainya, jatuh terduduk sembari menggigil ketakutan. Cowok dengan tubuh six pack itu berbalik begitu mendengar suara terjatuh Airi dan melihat orang yang telah dicintainya selama 3 tahun tersebut terduduk dengan bahu gemetar.

“Uhh…Keigo..”

“….”

“Jangan tinggalkan aku Keigo. Hiks…” Airi mulai sesenggukan saat Atobe masih tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia tidak mau Atobe meninggalkannya sendirian dihutan karena kemanjaannya kali ini.

“Dasar kau ini.” protes Atobe, sambil ikut berjongkok sejajar dengan Airi. “..Aku sudah bilang kan, jangan merengek saat sudah disini. Takee!”

“Tapi..tapi…aku kan tidak minta masuk kehutan ini.”

“Tidak ada artinya kalau hanya aku yang masuk sendiri.” tegas Atobe dengan wajah serius. Airi pun menghentikan tangisnya yang hampir meledak karena putus asa. “Aku sudah bilang untuk pegang tanganku dengan erat kan? Tapi kau malah mengomel dan ribut sendiri perkara ini itu.”

“Khuu…hikss…”

“Kita pasti keluar dari hutan ini. Karena itu pegang tanganku dan percayalah.” ucap Atobe.

Airi tidak bergerak seinci pun untuk meresapinya, sekaligus sedikit takjub dengan omongan Atobe. Namun, ia mengambil nafas untuk berbicara lebih lanjut karena cowok tersebut sudah salah berbicara.

“Tapi yang melepaskan tanganku tadi kan kau sendiri, Keigo..”

“..Itu karena kau membuatku jengkel.” balas cepat Atobe. Namun sejenak ia terdiam memikirkan kesalahannya. “Kau benar, aku yang salah. Maafkan aku.” ucapnya meminta maaf.

Dipegangnya tangan Airi dengan lembut untuk menenangkan cewek tersebut. Kemudian perlahan, wajah Atobe mendekat ke wajah cewek yang ada didepannya, berniat mencium Airi sebagai permintaan maafnya.

Melihat Airi cepat-cepat menutup mata saat dirinya mendekat, ia pun sejenak berhenti namun tetap bertahan dalam posisi itu hingga Airi membuka matanya kembali. “Boleh?” tanya Atobe.

Hanya anggukan pelan dan proses menutup mata yang menjadi jawaban Airi. Atobe yang memang sedari tadi sudah siap, langsung nyosor begitu saja saat dapat sinyal positif dari Airi.

‘Ternyata Atobe bisa mengucapkan kata maaf juga.’

#####

Sudah 5 menit berlalu sejak mereka berdua datang ke tempat, yang lagi-lagi, berbeda jauh dengan tempat sebelumnya. Airi bahkan tidak bergerak seinci pun sejak melihat pemandangan didepannya yang bagai surga di dalam rumah neraka.

Airi tidak mempercayai apa yang ia lihat. Bunga-bunga tumbuh dengan indah disekitar tempatnya berdiri. Rerumputan tampak hijau dan segar dimatanya, langit pun sedang cerah-cerahnya -kalau tidak mau dibilang terik- dengan suara air terjun terdengar bagai alunan melodi yang beraturan. Tebing yang tinggi bagai melindungi bahkan mengisolasi tempat seindah ini dari dunia luar.

“Kenapa bisa ada tempat sebagus ini setelah hutan belantara tadi hahh?” tanya Airi penasaran pada Atobe. Cowok tersebut sedang sibuk melepas sepatu dan membasuh kaki nya setelah ber-lumpur ria.

“Hum! Kau pikir siapa Oresama ini, arn~?” dengus sombong Atobe. Ia senang dengan kenyataan bahwa Airi memuji tempat ini.

“Jadi kau sudah tahu kalau ada tempat seperti ini setelah hutan tadi?”

“Aku memang tahu. Tapi…”

“..??”

“Aku tidak tahu, kalau tempat ini terlalu bagus seperti ini.” puji Atobe. Ia pun mengakui bahwa tempat ini memang indah. Bahkan lebih indah dari bayangannya. Tempat yang jarang dijamah oleh tangan-tangan jahil.

Airi melihat Atobe yang tengah duduk sambil menselonjorkan kakinya dipinggir sungai aliran air terjun. Mencoba melihat ekpresi yang sedang ditunjukkannya sekarang.

Atobe terlihat menikmati keadaan ini. Wajahnya menghadap ke atas, membiarkan sinar matahari mengenai wajahnya yang putih nan tampan tersebut. Airi yang melihat pemandangan gratis itu jadi terkesima dan memutuskan untuk duduk disebelah Atobe, ikut menselonjorkan kakinya sebagai alasan. Padahal, Airi harusnya tahu bahwa Atobe akan sangat senang kalau ia berada disampingnya, kapan pun itu, bahkan kalau bisa sesering mungkin.

“Pemandangannya indah. Aku suka tempat ini. Tempat ini jadi seperti hadiah, seperti surga, setelah berjalan melewati hutan menyeramkan tadi. Apa kau juga berpikir begitu, Keigo?”

“..Jadi ini, maksud mereka tentang permainan itu?” gumam lirih Atobe, tidak menjawab pertanyaan Airi.

“Haa?”

Atobe berpaling ke arahnya, “Sebenarnya aku sudah diberitahu oleh pemilik onsen kalau ada tempat yang indah dibalik hutan tadi. Apalagi tempat ini tidak terlihat dari onsen, jadi akan membuat orang-orang penasaran.”

Yang diajak bicara hanya diam, sedikit mengerti maksud Atobe namun masih tidak puas dengan jawabannya. Atobe pun menangkap ekspresi penasaran Airi dengan menjelaskannya lebih lanjut. “Aku ditawari olehnya untuk mencoba hal ini. Hum…karena selama ini dia partner terpercaya Atobe Group, jadi aku kesini untuk membuktikan kata-katanya. Tapi..” potong Atobe untuk mengambil nafas dan berpaling kembali ke Airi, “Karena ke tempat ini harus berpasangan, jadi aku mengajakmu. Tidak sia-sia bukan aku mengajakmu kesini.” ucap Atobe mengakhiri penjelasannya. Namun Airi tidak memberikan respon setelah mendengarnya. “Ai?”

Cewek berambut hitam sebahu itu diam sambil memikirkan sesuatu dengan sangat serius. Terlihat keningnya berkerut, namun dengan cepat ekspresi ‘aku mengerti!’ menghiasi wajahnya. “Aku tahu! Aku tahu maksud kata-katamu tadi, Keigo!”

“Yang mana?” balas Atobe dengan tenang, menghadapi wajah kekanakan Airi kalau sudah mengerti akan sesuatu.

“Waktu itu kau bilang kalau tidak artinya kau masuk ke hutan ini sendirian tanpa aku. Itu pasti, karena tempat ini dikhususkan untuk para couple kan? Anggap saja, onsen itu sebagai awal permulaan hubungan seorang couple, lalu hutan yang pertama kita lewati dengan masih adanya cahaya yang menyinari adalah hambatan kecil. Kemudian hutan menyeramkan tadi…adalah cobaan terberat yang harus dilewati untuk mencapai tempat yang indah ini. Dengan kata lain, tempat ini adalah hadiah dari kerja keras mempertahankan sebuah hubungan. Atau…boleh aku bilang tempat ini seperti tahap pernikahan ya?” celotehan Airi = panjang kali lebar didengarkan secara seksama oleh Atobe. Bahkan ia tidak menyangka kalau Airi bisa secepat itu menebak maksud dari diadakannya petualangan tadi.

“Calon istriku memang hebat, Atobe Airi san.” puji Atobe. Namun yang dipuji malah protes karena panggilan yang dibuat.

“Jangan panggil aku dengan nama itu, Keigo. Aku sudah bilang kan, belum tentu aku yang jadi istrimu. Namaku Kazehaya Airi. Ingat itu.”

“Kalau kubilang kau calon istriku, ya calon istri. Karena mulai sekarang, Oresama, adalah tunanganmu.” tegas Atobe.

“Ngaa…Haa? Hehh…apa-apaan itu? Pemaksaan.” bantah Airi. “Aku tidak ingat pernah mengatakan kalau aku mau jadi tunanganmu.”

“Tapi kan kau sendiri yang bilang.”

“Hee? Kapan?” Airi malah cengok sendiri

‘boleh aku bilang tempat ini seperti tahap pernikahan’ ” jawab Atobe mengulangi pernyataan Airi. “Hmm...Oresama senang sekali waktu mendengar kata-kata itu darimu.” dengusnya senang.

“Si-siapa yang bilang kalau itu artinya aku melamarmu?! Kau ini..ughh..” protes Airi dengan wajah seperti kepiting rebus. Heran, kenapa cowok satu ini bisa membuatnya kehilangan kata-kata dalam sekejap.

Atobe mengenggam tangan kanan Airi sembari kemudian menciumnya dengan lembut. Bagai pangeran dalam buku cerita yang sedang falling in love dengan sang putri. Airi kontan kaget dan berusaha menarik tangannya. Namun Atobe yang sudah tahu sifat Airi akan menghindar dengan sesuatu yang berupa sentuhan fisik, mengeratkan genggamannya.

“Suatu saat nanti, Oresama akan melamarmu. Tunggulah sampai saat itu tiba, Ai.” ucap Atobe sambil mengecup tangan Airi kembali.

“Memangnya si-siapa..yang akan menunggumu? Lagipula, kau bisa cari orang yang lebih baik daripada aku, lebih cantik dariku. Orang yang lebih sederajat denganmu. Lebih segalanya dariku.”

“Hemm..kau pikir begitu?”

“Te-tentu saja.” jawab Airi, sedikit ragu-ragu.

“Hooo…” komen Atobe. Tangannya segera mendorong kedua tangan Airi dan menjatuhkannya, membuat posisi mereka sekarang sedikit berbahaya dengan Atobe diatas dan Airi dibawahnya.

Detik itu, Airi kembali menyesali kata-katanya yang membuat ia bagai mendapat hukuman dari Atobe. Posisi tangannya yang dikunci Atobe, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Takut kalau-kalau Atobe memulai ritual menciuminya.

#####

Atobe’s view

Kesal. Hanya satu kata itu yang  kupikirkan saat Ai mengucapkan kalimat tersebut.

‘..cari orang yang lebih cantik dariku. …lebih sederajat denganmu. Lebih segalanya dariku.’

Jadi selama ini perasaanku sama sekali tidak sampai dan dia menganggapku hanya menginginkan tubuhnya semata? Aku mencintainya. Aku mencintai orang ini apa adanya. Kenapa Airi masih tidak mengerti?!

Kuciumi Airi dengan membabi buta. Makin kueratkan tanganku saat kedua tangan Airi yang terkunci memberontak, meronta-ronta untuk dilepaskan. Ia mulai sedikit diam saat aku menyentuh kulit tubuhnya dengan satu tanganku yang bebas. Salah satu kelemahan Airi sudah kupegang.

“Keigo..jangan sembarangan pegang-pegang…akhhnn…”

“Arn…aku tidak dengar. Katakan sekali lagi dengan desahanmu, Ai.” godaku padanya. Desahannya memang kutunggu kalau dalam posisi seperti ini. Desahan yang terdengar saat mencoba meremas dadanya.

“Ahh..uhnn…ngaa…Keigo, jangan...”

“Kenapa? Bukankah kau sendiri menikmatinya?” tanyaku sambil mengendorkan tangan yang mengunci tangan Airi. Senyuman tersungging dibibirku, saat orang yang ada dibawahku sekarang malah menikmati sentuhan tangan hangat ini dibalik pakaiannya.

Dengan meneruskan rangsangan sentuhan tersebut, sedikit demi sedikit kubuka baju yang dipakai Airi. Memperlihatkan bra-nya yang lucu, dengan bentuk bunga ditengahnya. Setelah tersenyum geli melihatnya, aku lanjut membuka bra tersebut sekaligus ‘mencicipinya’ miliknya.

“Uhhn..akhh! Keigo, hentikan. Ngii..iiih..”

“Huft..desahan yang lucu. Kenapa kau tidak mencari kata-kata lain untuk mengekspresikannya?” sejenak aku berhenti untuk mengomentari desahannya. Kemudian berpindah ‘mencicipi’ dada Airi disebelahnya.

“Itu tidak lucu, Kei..go..Hahh..hiyaa!” seru Airi sambil berjingkat karena terkejut saat aku memainkan puting miliknya dengan tanganku. Yang sukses membangunkan ‘batang’ milikku seutuhnya. Nafas Airi terlihat lebih memburu dari sebelumnya, namun ia terlihat lebih rileks. “Enak..ukh..lanjutkan lagi, Kei.”

Aku berhenti sejenak mendengarnya. Mencoba mencerna intonasi ‘nikmat’ dari mulut Airi. Wajahnya menunjukkan bahwa ia mulai menikmati apa yang kulakukan. Dengan nafas yang lebih teratur ia keluarkan, jantungku jadi berdebar lebih cepat melihat wajah Airi. Manis, hingga aku ingin melahap semua miliknya. Menjadikannya milikku seorang. Menjadi orang yang pertama dan terakhir yang tahu ekspresi wajah Airi saat mencumbunya. Yang membubuhkan kiss mark pertama ditubuhnya. 

Kumainkan kembali dada Airi sembari memasukkan salah satu jari tanganku kedalam mulutnya. Berharap ia akan menjilatnya dan mendesah yang mampu membuatku ter-rangsang kembali.

“Uhnn! ..kh..jangan digigit, Ai. Jilat saja kalau sakit.” protesku padanya. Sesekali, aku mendapati Airi menggigit jari tersebut. Tentu saja sakit.

Kini giliranku membuka baju yang melekat ditubuhku. Aku sudah merasa gerah. Kami berdua sama-sama mulai mengeluarkan peluh keringat. Apalagi Airi, seluruh badannya sudah basah. Baik itu karena jilatanku dan keringat yang keluar dari tubuhnya sendiri. Padahal tempat, yang menurut Airi bagaikan surga ini, merupakan tempat yang sejuk dengan pepohonan rindang dan air terjun yang menyegarkan.

Airi mencoba mengatur nafasnya selagi aku menyingkirkan pakaian yang ada pada tubuhku dan tubuhnya. Ia tidak menolak atau melawan saat aku perlahan mulai mencomot pakaiannya. Tidak seru rasanya kalau ada pakaian yang menganggu saat aku bersiap untuk ‘menyerangnya’. Bahkan, sebuah bra sekalipun.

“Hahh…hahhh…Kengghho, kau serius..hahh..mau melakukannya hahhh…disini?” tanya Airi terengah-engah.

“Tentu saja serius.” jawabku, memulai proses meraba tubuh Airi bagian bawah diteruskan dengan membuka rok dan menurunkan celana dalam warna biru milik Airi “..Kalau tidak, buat apa aku membuka seluruh pakaianmu disini.” kataku menambahkan. Kali ini, aku mulai mendorong kaki Airi hingga menyentuh pahanya. Agar lebih leluasa merasakan bagian paling vital miliknya.

“Keigo jangan disitu! Ughh..ughnnn! Haa…” pekik Airi saat aku sudah mulai menjilati miliknya. “Dimanapun boleh..ngaa..hahh..hahh…asal jangan…UKHH…disitu.” pintanya sambil kembali kehilangan nafas.

Aku mendongakkan kepala mendengarnya. Sudah sampai tahap ini, aku tidak mau menghentikannya begitu saja. “Tapi wajahmu mengatakan kalau kau ingin melakukannya denganku. Mana boleh dibiarkan begitu saja.” ucapku untuk membela.

“Kau pasti bohong, Keigo! Mana mungkin wajahku mengatakan hal itu?!” seru Airi sambil mengangkat kepalanya untuk melihat wajahku.

“Humm…jangan meremehkan kemampuan insight oresama.” dengusku sambil kemudian melanjutkan ritual tadi.

“Uhnn..ngaa! Kei, hentikannn…” protes Airi sambil memegang kepalaku. Kuputuskan untuk memasukkan salah satu jari kedalam lubang vagina milik Airi, agar ia bisa kembali menikmati. Yang dijawab dengan sebuah desahan yang cukup keras olehnya. “Keigo…sial! Apa yang…AKHHH!” pekik Airi semakin keras saat aku memasukkan jari kedua kedalamnya.

Menarik sekali. Padahal baru beberapa detik aku bermain dengan bagian vital miliknya, tapi ia sudah basah karena jilatanku dan cairan dalam tubuhnya yang berreaksi. Karena hal itu juga, aku punya ide untuk menjilatinya kembali sambil memainkan tanganku dengan memaju-mundurkannya.

“Apa kau mau aku menghentikannya, Ai?”

“Hahh…hahhh…jangan, teruskan saja. Akan kupukul kau nanti…kalau menghentikannya disaat…ngaa...seperti ini.”

“Baik, kuterima perintahmu, istriku.”  

Aku semakin gencar melakukannya hingga merasa bahwa bagian vital milikku sendiri pun sudah gerah dengan celana yang menutupi ‘batang’ tersebut. Kuhentikan ritual tersebut untuk membuka celana dan resleting serta celana dalam milikku.

“Kau sudah puas, Keigo?” tanya Airi sambil mengatur nafas, tanpa melihat apa yang sedang kulakukan untuk ritual selanjutnya.

“Tentu…saja belum..akhh..” kataku sambil melepas desahan saat melihat ‘milikku’ sendiri sudah mengeras. Sambil menempatkan ‘batang’ku ke lubang milik Airi, aku mencoba mendekat ke wajahnya dan mencium bibir Airi sebagai pembuka. “Aku mencintaimu, Ai.”

“Haa..uhnn…” ucapan Airi tidak terdengar lagi karena sudah terkunci oleh bibirku.
Segera aku masukkan alat vital milikku ke lubang miliknya. Dijawab dengan desahan keras, sangat keras dari mulut Airi. Aku bahkan dapat merasakan bahwa Airi mulai menegang karena masuknya ‘batang’ milikku. Tapi, kehangatan yang kudapat didalam  lubang milik Airi mengurungkan niatku untuk mengeluarkannya sekarang. Lembut, hangat namun juga rapuh, seakan-akan aku akan mengoresnya kalau terlalu cepat melakukannya.

######

Airi’s view

“Akhhh! Keigo sakit! Lepas! Apa yang kau masukkan?! Ukhhnn!” pekikku menderita saat tiba-tiba mendapat kejutan seperti itu. Sesuatu yang cukup besar, yang masuk kedalam lubang vaginaku yang kecil. Seakan dipaksakan dan membuatku merasa perih didalamnya. Aku mencoba untuk mendorong tubuh Keigo agar menjauh dan melepaskan apa yang dia masukkan kedalam lubang milikku yang menyesakkan tersebut, tapi kekuatan dan nafasku sudah habis karena rasa sakit yang dirasa.

Kemudian aku mencoba untuk sedikit berdiri, melihat apa yang Atobe lakukan padaku. Detik itu juga, aku merasa bahwa kami bagaikan menyatu karena bagian vital milik Keigo telah masuk kedalam lubang vital milikku. Dan, mukaku memerah seluruhnya karena berpikir bahwa baru kali ini aku melihat ‘batang’ milik laki-laki seumur hidupku. Dan orang itu, adalah Keigo, kekasihku yang sombong  dan semaunya sendiri.

Sungguh, aku sangat senang saat Keigo mengatakan bahwa aku adalah calon istrinya di masa mendatang. Aku mencintainya. Sangat. Dari dulu hingga sekarang. Tapi, kalau aku terang-terang menyatakan bahwa aku menyukainya dan menerima lamarannya, apa yang akan dilakukannya padaku seperti mencium, menjamah tubuh akan semakin menjadi-jadi dan parah. Sekarang saja, padahal aku belum menjawab bahwa akan menjadi istrinya atau tidak, dia sudah sembarangan seperti ini. Ditempat terbuka seperti ini pula!

“Syukurlah, kau masih perawan saat melakukannya denganku.” ucap Keigo, tersenyum lega.

“Tentu saja. Ukhh…memangnya kau pikir..ahhn..aku sudah melakukannya dengan siapa..? Huuu..haa…ukhnn!” jawabku terbata-bata, menyesuaikan dengan rasa sakit yang terasa.  “Tapi..darimana kau tahu?”

“Ada darah yang keluar dari vaginamu. Humm…dasar, kau mengotori tempat indah ini dengan darahmu.”

“Siapa yang sembarangan memasukkan barang milikmu ke tempatku, hahh?!” seruku tidak terima.

“Hahahahaha!” tawa Keigo, terlihat manis dan tulus saat ini dimataku. “Hanya oresama yang boleh memasukkannya ke dalam lubang milikmu. Mengerti?”  tanya Keigo memastikan.

“Urusai.” jawabku malu-malu.

“Kau tampak menikmatinya, Ai. Ingin kulanjutkan lebih dalam lagi?” tanya kembali Keigo, sambil tetap memaju-mundurkan ‘batang’ miliknya.

Sial. Aku tidak bisa bilang untuk menghentikannya sekarang. Lambat laun, aku menikmati hal ini. Dengan Keigo yang akan menghilangkan rasa sakit meskipun  perlahan, aku tidak mau dia berhenti begitu saja.

“Teruskan. Kau akan tahu akibatnya kalau berhenti ditengah-tengah.”

“Oresama tidak akan mengecewakanmu.” jawab Atobe ala pangeran lebay. “Oresama. Sangat. Mencintaimu, Airi.” desahnya ditelingaku. “Apa jawabanmu?”

“…Uhh..” setengah mati, kutahan rasa malu yang muncul ke permukaan. “Aku membencimu, Keigo.”

“Arn~?” tanyanya dengan nada mengancam.

“100% aku membencimu, tapi lebih dari 1000% aku mencintaimu, Kei bodoh.”

‘Hahh..kenapa aku tidak bisa menyampaikan rasa sukaku dengan baik ya?’

Kudengar Keigo mendengus senang saat mendengar kata-kataku, hingga kemudian ia lebih agresif menyerang pertahananku sampai kami berdua tidak sanggup lagi mengatur nafas dan melakukan kegiatan ini lebih lanjut. 

Gi..ma..na?? 
Ada yang...kecewa ama lanjutan FF ini? #keluar dengan takut-takut #pundung 
Ayo, dihujat bareng-bareng yahh
Lanjutannya?
kalau mau ada yang lanjut bakal ta lanjutin, tapi kalo enggak ada yang komen, juga tetep bakal ta lanjutin #gimana sih?
Rasanya sayang kalau ceritanya berhenti di sini. 

Comment more appreciate! 

2 komentar:

  1. good job kah, haruchii???

    arigatou~

    ta kirain haruchii gak mention soalnya kan romance + bejat bgt cerita ini

    BalasHapus

You have klik in Comment. So, comment which make me better. Douzo!