Front Office

Sabtu, 31 Desember 2011

Atobe, is it your love or .... chapter 4.5

Hanya sedikit sih dan sama sekali tidak menarik, saya mau mengupdate lanjutan ff bejat Atobe.

GAKHH! Kenapa saya kudu malu-malu di blog sendiri?!

FF lanjutan kali ini hanya cerita pendek dan SAMA SEKALI TIDAK ADA adegan bejatnya. Jadi semua umur bebas membacanya :)
Maap bagi fans Yuushi dan pembenci OC, mending kalian gak usah baca cerita ini untuk aman-nya. Ya?

Atobe, is it your love or ... 
Airi's side story
by Aoyagi Verin

Disclaimer : TakeKon, karakter Atobe dan Yuushi milikmu. Tapi Airi, sepenuhnya milikku. Cerita kali ini gak aneh-aneh kok. Sungguh. 


#####

Hyoutei Gakuen

Berulang kali aku menganga melihat kemegahan gedung sekolah Hyoutei, gedung bertingkat setara apartemen ini menjadi tontonanku sejak tadi pagi. Berulang kali juga aku mengelus dada saat disadarkan bahwa murid Hyoutei merupakan kumpulan siswa-siswi berbakat. Mungkin berlebihan kalau aku mengatakan se Jepang (hanya mungkin), jadi kuputuskan untuk menyebutnya “Kumpulan Siswa-Siswi Berbakat se Tokyo”.

Deg…deg…deg…

“Haduhh! Kenapa malah tambah gugup!” geramku sendiri. Setelah sibuk menenangkan diri, aku dibingungkan untuk mengambil jalan menuju klub pilihanku.

“Ayo cepat! Klub tenis sedang melakukan pertandingan yang seru! Anak baru sombong yang bernama Atobe melawan anak baru kelas satu juga.”

“Kenapa melawan anak baru? Memang senpai di klub tidak menegurnya bahwa dilarang bermain sesama anggota baru?”

“Justru itu yang jadi pembicaraan! Para senpai sudah dikalahkan dengan mudah oleh anak sombong itu.”

“Heehh? Benarkah?”

“Iya! Makanya cepat ke lapangan!” ajak pemuda tersebut dengan terburu-buru.

Aku mendengar hal itu. Sudah pasti. “Apa sih? Seperti ada perdana menteri yang mau lewat saja. Padahal kalau perdana menteri lewat saja tidak seheboh itu.” pikirku cuek. Sayup-sayup terdengar suara 2 orang pemuda yang, kelihatannya, juga anak baru sepertiku.

“Ayo…ayo…cepat!”

“Cepat sedikit!”

Suara grusa grusu siswa-siswi lain makin sering terdengar dan mengarah ke lapangan tenis berada. Hal itu membuatku ingin bergabung bersama mereka karena penasaran.

“Gaakkhh! Kenapa aku jadi ingin melihatnya sih?!” dengan setengah berlari, aku kejar sisa waktu yang ada. Sambil tetap menjaga penampilan rambut pendek yang telah kusisir rapi.

Sesampainya di lapangan, aku tertegun akan kemegahan lapangan yang dimiliki dan penonton yang memadati, “Ada stadion kecil untuk lapangan tenis?!” pekikku kaget.

“Terima ini!” ucap seseorang pemuda yang sedang bermain. Rambut biru dongker dan kacamata yang bertengger menjadi ciri khasnya, “Ayo lari, pertandingan baru di mulai.” lanjutnya. Sambil menyimpulkan senyum puas dibibirnya.

DEG

“Siapa yang mengatakan permainan sudah dimulai dari tadi, arn~?” balas lawannya yang berrambut abu-abu.

“Hekhh….” dengus kedua pemain, senang.

Atau lebih tepatnya, menikmati pertandingan?  

*****

Hyoutei Gakuen, 3 tahun lalu

Upacara penerimaan siswa baru orang-orang kaya disekolah ini diakhiri dengan pemberian pidato dari teman seangkatanku sendiri. Atobe Keigo, begitu ia menyebutkan namanya. Seorang bocah yang berlagak sombong didepan podium. Sembari mengatakan bahwa ia adalah raja di Hyoutei ini. Huh..orang-orang kaya benar-benar tidak tahu cara memperkenalkan diri dengan sopan santun.

Bukan keinginanku untuk bergabung dengan sekolah kaya ini, karena jelas, keluargaku  tidak mungkin bisa membayar biayanya. Tomo chan, sahabat karibku sejak sekolah dasar yang rendah hati, yang membayari seluruh biaya sekolahku. Ia sendiri harus melanjutkan sekolahnya ke luar negeri. Dari berita yang kudapat, sekolah ke luar negeri adalah suatu keharusan dari orang tua Tomo chan agar ia dapat melanjutkan bisnis keluarganya. Entah ini keajaiban atau kemalangan,  tapi aku-lah orang yang kena getahnya. Tomo chan memintaku masuk ke Hyoutei, sekolah berkelas di Tokyo. Aku menolak, tentu saja. Lebih memilih sekolah biasa yang tidak semahal Hyoutei.

Tapi Tomo chan tahu bahwa aku pasti akan luluh jika dipaksa. Dan lagi..dia sahabat karibku. Jadi aku tidak mau membuatnya kecewa.

“Kau senang kan? Bisa duduk disebelah oresama, arn~?” sebuah suara dengan akhiran aneh menusuk telingaku. Semua ingatanku jadi buyar karenanya.

“Maaf, sayangnya tidak. Aku rasa kau bisa pindah ke tempat lain kalau mau dikelilingi fansmu.” jawabku.

“Oresama suka duduk didepan.”

‘Sepertinya aku salah memilih tempat duduk didepan.’

“Oresama Atobe Keigo. Aku yakin kau pasti sudah tahu.” ucap orang itu dengan percaya diri. Dengan tangan kiri menopang dagunya diatas sandaran kursi dan wajah sombong yang menghadapku, Atobe bertanya “Kau sendiri?”

“Kazehaya.”

“Kazehaya Airi deshou?”

Yang menyebalkan, anak sombong itu sudah tahu nama lengkapku tapi malah bertanya.

“Aku hapal semua nama siswa-siswi Hyoutei.” lanjutnya. Membuatku menoleh horor padanya. Dan dia mendengus puas menanggapinya.

****

Pelajaran hari ini selesai. Aku langsung buru-buru mengemasi barang dan pergi dari kelas. Mencari ruang klub yang masih belum ketemu dari tadi pagi. 3 jam kemudian, urusanku dengan kegiatan klub selesai dan menemukan Atobe dilapangan tenis bersama si kacamata.

Melihat mereka berlari, mengejar, memukul, melompat dan meraih bola dengan semangat membuat tubuhku membeku. Semua gerakan itu menghasilkan peluh keringat yang menggoda untuk dilihat. Bukan hanya aku, bahkan semua orang di stadion tersihir oleh gerakan mereka. Saat itulah aku menyadari bahwa kesombongan Atobe adalah tipe yang beralasan. Karena ia mampu melakukan apa saja. Mulai dari pelajaran, olahraga, kelenturan, kekuatan, kharisma, dan yang terakhir...ketampanannya. Sungguh, aku tidak mau mengakui poin yang terakhir. Tapi di lapangan ini aku harus mengakui hal itu.

Tapi, kenapa justru mataku tidak bisa lepas dari seseorang yang tengah melawan Atobe itu?

*****

Sekolah sudah memasuki 3 bulan sejak hari pertama kami, sebagai anak baru, masuk Hyoutei. Bisa ditebak orang disebelahku makin terkenal dan digandrungi oleh anak perempuan. Yang menyebalkan, tiap hari mejaku ikut dipenuhi para penggemarnya. Dan aku berpikir, akan lebih baik kalau Atobe melarang seluruh fans-nya untuk masuk ke dalam kelas kecuali urusan yang amat sangat penting. Tapi sebenarnya hal ini menguntungkan juga. Karena orang yang menjadi lawan Atobe waktu itu, Oshitari Yuushi, menjadi teman dekatnya. Jadi tiap kali fans Atobe berkerumun, aku bisa pastikan Oshitari akan ikut berkerumun juga.

Maksudku, untuk menggoda para fans Atobe. Hohh...padahal aku yakin si Oshitari itu sudah punya fans pribadi layaknya Atobe karena ketampanan dan suara rendah seksinya.

Yang paling kunantikan saat jam istirahat adalah kedatangan Oshitari. Jadi aku bisa mencuri pandang ke orang itu. Memang benar, dia terkenal playboy dan suka gonta-ganti pacar, meskipun ini masih tahun pertamanya di Hyoutei, tapi aku masih belum menemukan kerugian karena menyukai dia. Jadi perasaan bertepuk sebelah tangan ini masih kusimpan.

“Pengumuman untuk seluruh anggota klub Karate, diharapkan segera berkumpul di ruang Dojo. Sekali lagi kami umumkan untuk seluruh anggota klub...”

Terdengar suara seorang murid perempuan memberitahukan sebuah pengumuman. Yang secara tidak langsung ditujukan untukku, salah satu anggota klub.

‘Pasti membicarakan pertandingan yang sebentar lagi digelar. Ahh...padahal masih ingin melihat Oshitari san,’ pikirku.

Setelah menghela nafas berat, aku mulai beranjak meninggalkan tempat duduk. Saat berjalan melewati kerumunan, aku coba mencuri pandang ke pria kelahiran Osaka itu. Lagi-lagi, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Wajahnya saat berbicara sangat menyenangkan. Ia tampak menikmati tanpa merasa terganggu sekalipun. Senyumnya yang menggoda malah menancapkan panah cupid dijantungku.

Saat menjawab perempuan yang ada disebelah kirinya, Oshitari tidak sengaja menoleh padaku yang tengah berdiri didepannya tanpa sadar. Sial, aku ketahuan. Tatapan mata kami bertemu tiba-tiba. Aku langsung kabur setelahnya sambil mengawasi hal lain didepanku, pura-pura tidak tahu. Dia pasti berpikir kalau aku orang aneh.

*****

“Kau suka Oshitari kan?”

Jantungku hampir copot saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Atobe. Aku mengedipkan mata berkali-kali sebelum berani menatapnya, “Apa maksudmu?” tanyaku. Berani sekali dia mengatakan hal itu saat ada teman yang belum keluar dari kelas untuk pulang.

“Mengaku saja. Sudah ketahuan kok.” ucap Atobe jelas.

“Kenapa aku harus menjawabnya? Kau kan bukan Oshitari san.” Aku mencoba mengelak tanpa memberi jawaban padanya.

“Karena oresama menyukaimu.”

Aku menatap mata Atobe dengan tidak percaya.

“Huh..padahal oresama yang pertama bertemu dan berkenalan denganmu. Padahal oresama yang selalu bicara denganmu. Tapi kenapa malah Oshitari? Jadi...apa benar kau suka Oshitari?”

Apa dia bilang? Suka? Dengan orang sepertiku? Dia pasti gila. Tidak, mungkin dia sedang demam sampai meracau seperti ini.

“Oshitari sendiri juga sudah sadar. Gelagatmu kemarin membongkar semuanya. Aku memang sudah menyadarinya dari awal kalau kau bertepuk sebelah tangan dengan Oshitari, tapi aku diam  saja karena kau pasti tidak berani mengatakannya.” jawab Atobe panjang lebar. Sepertinya dia benar-benar demam sampai bisa berbicara sebanyak itu.

Sedikit kesal akan kata-katanya, aku malah jadi mengartikannya sebagai sebuah tantangan, “Terima kasih atas perhatianmu, Atobe sama. Kalau aku menyatakan perasaanku dan jadian dengannya, kau jangan menyesal.” sindirku padanya. Setelah puas melihat wajah terkejutnya, aku mengambil tasku dan beranjak pergi.

“Tch...jangan!” Larang Atobe sambil memegang pergelangan tanganku untuk mencegahku pergi. “Kaulah yang akan menyesal, kalau melakukan hal itu.” Atobe menatapku dengan serius. Seakan takut kalau aku benar-benar melakukannya.

“Baik, kita lihat nanti. Siapa yang akan menyesal. Kau...atau aku.”

“Hahh...terserah. Oresama sudah memperingatkanmu. Jangan harap aku akan simpati melihatmu ditolak nanti.”

“Uhh...kenapa sih kau bilang begitu?! ‘Aku akan menyesal, aku akan ditolak’. Aku bahkan belum mencobanya!” hardikku kesal.

“Sudah ketahuan, ba~ka.” jawabnya. Uhh...dia malah menyebutku bodoh sekarang! “Karena Oshitari itu...”

“..aree? Kau masih disini, Atobe?” tiba-tiba suara beraksen kansai muncul ditengah-tengah pertengkaran kami. “Kelihatannya, kalian membawa-bawa namaku.”

‘Oshitari san? Chance! Akan kunyatakan perasaanku sekarang.’

Setelah berpikir seperti itu, aku langsung menepis tangan Atobe dan berlari ke arahnya. 

“Begini Atobe, hari ini...”

“Oshitari san, aku menyukaimu. Pacaran denganku ya!” ucapku spontan. “Aku memang tidak cantik, tapi aku bisa berubah kalau kau mau...”

“Ojouchan, gomen nee,” Suara Oshitari yang meminta maaf terdengar lebih rendah dan seksi dari biasanya. “..Aku sudah punya pacar. Mungkin kau bisa antri untuk jadi pacarku selanjutnya. Ahh..tapi, sebentar..” Oshitari berhenti sejenak dan sedikit menjauh dariku untuk melihat kakiku. “Hmm..kakimu kurang dirawat ya? Banyak luka dan plester disana-sini. Sebagai wanita, kau harus merawat kakimu, Ojouchan. Sayang sekali, tapi aku hanya berminat untuk kencan dengan orang punya kaki yang mulus.”

‘A-apa?! Apa yang dia bilang barusan? Kaki yang mulus? Dia menilai wanita hanya dari kakinya?!’

“Ohh...dia sudah menungguku.” gumam Oshitari sambil melihat ponselnya. “Atobe, aku kesini untuk bilang kalau aku tidak bisa pergi denganmu hari ini. Pacarku minta kencan sekarang. Sampai besok.”

“Iya sana, cepat pergi.” terdengar suara Atobe menyahut, disusul langkah Oshitari keluar dari kelas dan semakin menjauh.

Aku terduduk lemas dilantai tempatku berdiri tadi. Lututku gemetar tidak karuan, begitu juga dengan jantungku.

“Untung sekarang tidak ada orang didalam kelas. Jadi kau tidak dipermalukan karena kejadian tadi,” Atobe berhenti sejenak sambil mengamatiku “Sekarang kau mengerti kan? Karena itulah aku bilang kalau kau akan menyesal mengatakannya pada Oshitari. Dia suka pada wanita yang punya kaki indah. Sedangkan kau? Kakimu lecet semua karena latihan yang kau lakukan di klub karate. Karena oresama yang duduk disebelahmu, oresama jadi tahu bahwa lukamu itu bertambah tiap harinya.”

“Urusai urusai urusai URUSAI!!! Sudah jangan bicara lagi!” airmataku mengalir deras mendengar penjelasan Atobe barusan. Dia sama sekali tidak membuat perasaanku tenang. “Apa-apaan dia itu?! Kakiku tidak mulus? Memang kalau orang pacaran yang dilihat kakinya! Orang itu bodoh ya?!” Mulutku tidak bisa berhenti mengeluarkan kata-kata kasar. Aku mohon, tolong hentikan “Sial! Kenapa aku tidak bisa berhenti menangis. Percuma aku mengeluarkan airmata ini untuk orang sepertinya. SIALLL!” sambil terus mengucapkan sumpah serapah, aku berdiri dan berpindah menuju pojok dinding dekat pintu masuk.

“Aku tadi sudah bilang kalau tidak akan bersimpati padamu kalau ditolak Oshitari. Jadi, sekarang menangis dan meraung saja sendiri.”

“Wakatta wakatta! Pulang sana! Pulang! Uhh...menyebalkan!!!" Suaraku meninggi sambil mengepalkan tangan untuk memukul tembok didepan. Menangis sendirian untuk cinta (monyet) pertamaku. Kalau memang jatuh cinta rasanya menyakitkan seperti ini, bagaimana orang-orang yang patah hati bertahan hidup? Bagaimana cara ibu dan ayah melewati ini semua saat seusiaku? Aku ingin tahu. Aku ingin tahu agar bisa segera keluar dari rasa sakit ini!

****

Tangisku mereda 10 menit kemudian. Aku tidak bisa mengatur nafas hingga tangisku menjadi sesenggukan. Memalukan, ingusku jadi meler tanpa bisa ditahan.

“Sudah puas menangisnya? Huh...calon pacar oresama tidak boleh ingusan.” ucap Atobe sambil memberikan sapu tangannya.   

“Haaa? Kau masih disini?!” tanyaku tidak percaya, “Bukannya tadi aku sudah menyuruhmu untuk pulang?”

“Dari tadi oresama disini mendengarmu menangis sambil membaca buku.”

‘Memalukan. Aku pikir dia sudah pulang dari tadi.’ ucapku dalam hati.

“Keluarkan dulu ingusmu. Kau merusak suasana.” Atobe mengatakan masih dengan gaya sombongnya. Kuturuti saja maunya karena memang suara ingusku sudah memalukan untuk didengar.

“Jangan dilihat.” pintaku.

“Huh..tidak dilihat pun, suaranya juga akan kedengaran.” jawabnya, yang diikuti srott srott dari hidungku. Dan Atobe malah tertawa karenanya.

“Hee? Kenapa kau malah ketawa sih?”

“Hahaha! Habis kau lucu.” Suara tawa Atobe mengiringi suasana hening diantara kami. Segera setelah Atobe menguasai diri, ia berwajah serius menghadapku. “Jangan lupa cuci dulu saputanganku sebelum kau kembalikan.”

Aku sedikit tertohok mendengarnya “Te-tentu saja! Kau pikir aku tidak tahu.”

“Anak pintar.” puji Atobe padaku. Aku jadi merasa seperti binatang peliharaannya. “Sekarang, aku serius. Jadilah pacarku, Airi.”

“Hehh?! A-apa aku tidak salah dengar? Kau memanggil nama kecilku??” tanyaku beruntun.

“Tidak,” jawab Atobe, sambil meletakkan kedua tangannya di sebelah kanan-kiriku “Karena oresama benar-benar serius. Naa, Airi?”

“Hentikan! Aku belum mengijinkanmu memanggil namaku, kenapa kau seenaknya saja Atobe,” ucapku tegas “Lagipula, apa kau tidak salah pilih orang? Aku tidak seperti yang kau bayangkan. Aku dari keluarga..”

“..Miskin? Aku tahu itu,” Atobe memotong omonganku. “Kau dibiayai oleh Yazaki Group, perusahaan mainan milik Yazaki Tomo, sahabat karibmu, aku juga tahu. Sebelum masuk sini, kau pernah menjuarai karate meskipun itu hanya tingkat prefektur. Karena itu sekarang kau juga masuk klub yang sama. Rumahmu ada di dekat minimarket seven eleven 2 kilometer dari sini, yang notabene adalah milik Yazaki.”

Aku hanya berkedip ria atas penngetahuan Atobe tentangku. Dia bisa mendapat apa saja dengan kekuasaannya sebagai orang paling kaya di Hyoutei.

“Aku tahu segalanya tentangmu. Sekarang giliranmu untuk mengetahui segalanya tentangku.” Suara Atobe tiba-tiba berubah menjadi lebih rendah saat mengatakan hal tersebut. Padahal wajahnya masih sama dengan 3 bulan yang lalu aku bertemu dengannya, wajah bocah ingusan yang sombong tapi memiliki kharismatik yang tinggi. Dan dari sedekat ini, aku bisa mengerti kenapa orang-orang menyebutnya tampan. Wajahnya putih, amat mulus jika diingat dia seorang atlit tenis. Tatapan matanya yang menggoda, lebih dari tatapan mata Oshitari. Bibirnya terlihat ranum dan membuat bergairah apalagi saat ia menempelkannya ke mulutku.

EKHHHH?!

Apa yang terjadi?! Atobe benar-benar menciumku??! Bo-bohong, ini tidak mungkin! Ciuman pertamaku....direbut Atobe. Tapi...apa ciuman itu, rasanya seperti ini? Lembut dan...basah. Ternyata, tidak buruk juga.

Aku menemukan diriku tersenyum saat ini. Tapi senyuman itu memudar saat Atobe menjauh didetik berikutnya.

“Gawat, aku bisa kelepasan kalau menciummu terlalu lama.” gumam Atobe.

“Ngg..kelepasan itu maksudnya bagaimana?” aku hanya bertanya dalam hati, karena melihat wajah Atobe tidak karuan setelah menciumku. Jadi kuputuskan untuk diam saja.

“Ayo pulang, Airi. Tasmu hanya ini saja kan?” tanyanya sambil menenteng tasku keluar kelas.

“Hei, aku sudah bilang jangan sembarangan panggil namaku. Lagipula, aku belum setuju jadian denganmu.”

“Ohh? Begitukah? Tapi di ciuman tadi kau tidak menolakku kan? Itu berarti kau menerimanya.”

“Ekh?! Heii! Jangan bikin keputusan sendiri. Atobe....!”

*****

Sekarang, di Lapangan tenis tidak jauh dari tempat Onsen...

“Kalau diingat-ingat, aku...pernah suka pada orang homo itu? Kenapa bisa lupa?” aku berpaling menuju tempat Oshitari berdiri. Disisi kanan si rambut merah, Mukahi Gakuto kalau tidak salah namanya.

“Dan yang namanya Atobe, dari dulu memang pemaksa ya?” ucapku lirih sambil tersenyum melihat Atobe yang tengah bersiap memulai serve-nya..


to be continue

Seperempat awal cerita ini sebenarnya ditujukan untuk FF Yuushi tapi karena plotnya cocok untuk Airi, akhirnya saya masukkan saja.

 Selesai disini saja Airi's side nya. Kembang api sudah banyak bertebaran dilangit, saya jadi excited untuk melihatnya *ngebut ketik

Selamat Tahun Baru 2012, minaa!!!! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

You have klik in Comment. So, comment which make me better. Douzo!